Kisah Kasih Untuk Kekasih

BUKU NON FIKSI Judul: Cinta Itu Bangsat Penulis: Sanghyang Mughni Pancaniti Penerbit: PAKU (Pasukan Anti Kuliah) Tahun terbit: 2020 Jumlah halaman: 128 halaman *Buku ini diambil dari sudut pandang orang pertama *Kata aku/ -ku pada cerita ini menunjuk pada penulis Menceritakan tentang seorang lelaki yang mencurahkan segala kisah dihidupnya kepada kekasihnya yang telah wafat. Lembaran pertama, sebuah permulaan. Seorang pria yang teringat kembali pada kekasihnya, mantan kekasih lebih tepatnya, Gandari.. Itu namanya, nama yang selalu diulang terus menerus disetiap paragraf menyatakan bahwa buku ini memang dibuat untuknya. Mengingat Gandari yang sudah sepuluh tahun jasadnya lenyap diambil yang Maha Kuasa, itu yang terjadi pada pria ini (penulis), rasanya tersiksa dan nyaris mati menerima fakta bahwa jasad kita tak lagi bisa bertemu, tetapi itu bukan berarti Gandari lenyap hanya saja menjadiknnya gaib di bawah ke Maha Gaiban tuhan. Saat Gandari masih hidup, kau memintaku menulis tentang diriku sendiri, mengenai kisah kehidupan yang aku alami, sebab kau selalu berkata "Cara paling indah untuk mengungkapkan perasaan, dan pikiran adalah dengan bahasa tulisan". Diawali ketikaku masih kecil, aku hidup dari keluarga yang sederhana, Bapakku adalah seorang ustadz, dan Ibuku seorang guru agama. Tak heran bila kedua orang tuaku sangat dihormati di tempat tinggalku. Meskipun bapakku seorang ustadz, aku kerap sekali bermain judi bersama teman-teman satu tongkronganku, aku sadar bahwa judi adalah permainan yang dilarang oleh agama, tetapi permainan itu tak mampu kulepaskan dalam keseharianku, hampir setiap hari aku duduk bersila sambil memegang kartu remi dengan uang bertumpuk di hadapanku. Menurutku judi tak sebatas candu tetapi ia telah menjadi detak, menjadi darah bagi diriku, tak hanya berjudi aku pun diam-diam sering mencuri uang di dompet ibu di celana bapak, lebih parahnya lagi terkadang aku sering memalak anak-anak orang kaya di sekolahku agar dapat memenuhi hasratku untuk bermain judi. Saat Bulan Ramadhan pada akhirnya kelakuanku yang sering berjudi itu diketahui oleh ayahku saat ingin menjemputku pulang bermain dari rumah teman. Betapa marahnya aya mengetahui selama ini aku sering berjudi dengan temen temanku. Ketika pulang, aku langsung bersujud di kaki ayah, memohon ampun dan menceritakan semuanya, ibu yang awalnya bingungpun mengerti mengapa ayah pulang ke rumah sambil menangis. Akupun memutuskan untuk berhijrah agar tidak memainkan permainan haram itu lagi, untuk lebih memantapkan ilmu agamaku, ayah memutuskan untuh memasukkanku ke pesantren. Hal ini agak asing bagiku, bagaimana tidak, aku adalah orang pertama dari keluarga besarku yang dimasukkan ke pesantren. Sebelum memutuskan untuk aku melanjutkan pendidikan di pesantren, teringat kejadian dimana aku ketahuan berjudi, Ibu tidak menghardikku atau bahkan sampai memukulku, apalagi Bapak yang seumur hidupnya tak pernah menghakimi kesalahan anak-anaknya dengan layangan tangan. Malam itu Bapak meraih tubuhku dan wajahku dibenamkannya di dadanya, sambil menangis Bapak berbisik di telingaku "Bapak tak pernah marah jika kamu melakukan banyak kenakalan sebagai anak kecil, karena memang itulah duniamu. Tapi jangan pernah biarkan dirimu melakukan sesuatu yang nista, yang sangat tidak disukai Allah, mencuri, berjudi, dan melukain orang lain." Sepanjang perjalanan menuju pondok, hatiku sangat gembira, aku senang karena akan punya dunia baru, teman baru, lingkungan baru. Sebelum benar-benar pergi, ada pesan sekaligus do'a dari Bapak. "Bapak, dan Ibumu bukanlah orang kaya. Tapi kami berdua selalu yakin, Allah akan memudahkan rezeki bagi siapa pun yang merelakan anaknya untuk mencari ilmu. Dengan segala kebodohan Bapak, dengan segala keterbatasan Bapak, ingatlah pesan Bapak ini, petiklah segala ilmu dari apa yang kamu lihat , kamu dengar, dan kamu rasakan. Dekatilah Allah dengan kerendahatian seorang hamba, sapalah Kanjeng Nabi Muhammad dengan salam dan selawat, supaya Mereka sudi melapangkan hatimu, menajamkan akalmu, serta memperbaiki akhlakmu." (*dan itu menjadi kalimat paling menyentuh dicerita ini menurut Saya) Beberapa saat setelah keluargaku pulang, aku mendekati lemari di dalam asrama, tangisku benar-benar meledak saat itu. Waktu semakin berlalu, kini aku telah menginjak kelas 2 Tsanawiyah. Kegiatan disini rasanya sudah mandarah daging. Suasananya, bincang_bincangnya, ataupun ustadznya. Di masa-masa ini, Gandari, ada sesuatu yang menyusup ke dalam hatiku, seperti Ledakan Rindu, yaitu rasa kangen bermain judi. Aku merindukan aroma kartu remi, dan gemerincing uang-uang logam. Rasa rindu itu tak tertahankan lagi, akhirnya dengan nekat aku keluar diam-diam dari pondok, aku mendapatkan segepok kartu remi, lalu menyeludupkannya ke dalam kobong. Beberapa santri yang mengerti kartu remi, kuajak bermain, dan mereka mau. Di tengah lengkingan suara santri yang membaca Al-Qur’an, ada perjudian yang terselubung di dalam pondok. Malam hari adalah waktu paling aman yang kupakai di salah satu kobong yang tak ada pembimbingnya. Aku begitu ingat, jika aku memenangkan permainan, aku akan keluar kobong dengan berlagak layaknya Gus Dur dengan maksud menghina. Meski begitu, Selawat Fatih yang Bapak berikan untukku amalkan, selalu kubaca setiap selesai shalat. Bagian terakhir dari cerita ini ialah “Luka Yang Menjadi Teks”. Gandari.. engkau selalu memintaku untuk menulis sebuah buku, bahkan kau juga menyemangatiku dengan kata-kata indahmu. Wahai Gandari kau harus tau, aku pernah mencintai seseorang gadis salehah bernama Cinta. Aku memujanya teramat sangat, dan siap berkorban segala deminya. Yang membuatku bertanya-tanya ialah slama aku bersamanya dan mencintainya, pengghambaanku kepada tuhan ikut sirna, aku jadi melupakan ibadah-ibadah yang sudah dua puluh tahun aku terus jalani. Hal ini bukan salahnya, ia adalah wanita yang sungguh apik menjallankan ibadah wajib maupun sunnah. Pada suatu ketika, di penghujung tahun 2010, rasanya langit seperti menjatuhkan Nasib yang sangat buruk kepadaku. Selain penghambaanku kepada tuhan yang sirna, cinta yang selama ini aku puja-puja membuatku sakit yang yang ama terasa di dada. Do dalam kostannya aku melihat ia menghianatiku, dengan temanku sendiri yang aku telah lama menganggapnya sebagai kakak. Sepanjang jalan aku sealu mengunggapkan kata-kata “Cinta itu bangsat, cinta itu bnagsat, cinta itu bangsat” terus menerus. Sekitar dua hari dari kejadian itupun mencurahkan segala rasa sakit sesakit-sakitnya pada kertas. Luka yang kurasakan aku tuangkan penuh pada secarik kertas tersebut menjadi deretan huruf yang membentuk kata-kata, dan bergerak menjadi sebuah teks. Sampai akhirnya, semua itu berkumpul menjadi sebuah teriakan TAHUN TANPA TUHAN. Meski memori ini sudah usai, aku merasa masih belum bernyawa. Aku tak punya gairah untuh menulis, sampai aku menyadari bahwa menulis merupakan pekerjaan yang membuatku bahagia. Aku merumuskan sebuah pekerjaan yang membuatk bahagia, meski pemantik awalnya ialah sebuah luka yaitu menulis. Awalnya aku membenci cinta yang telah meusukku, akan tetapi sekarang aku berterima kasih padanya, karen ialah yang menjadi ajalan atau cikal bakal dari buku ini. KELEBIHAN Ceritanya menarik, dari segi judulpun orang yang melihat kemungkinan akan merasa penasaran dan ingin membacanya, karena ini diambil dari kisah nyata sang penulis, saya rasa cerita ini cukup membuat saya terharu. Dari segi penulisan saya rasa tidak ada yang salah ketik, sampul dari bukupun dibuat sederhana, dengan warna yang tidak terlalu mencolok di mata, sehingga menjadikan buku ini terkesan minimalis tetapi menarik. KEKURANGAN Tidak memiliki daftar isi sehingga pembaca agak sulit melihat bagan dari cerita ini, cerita yang terlalu rumit membuat sulit untuk diresensi, butuh waktu lama bagi saya memahami beberapa bagian cerita pada buku ini karna cukup berbelit-belit pada konflik yang terus berdatangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ilmuwan Dunia dan Cara Belajarnya